Beberapa hari yang lalu, gue sempat ngobrol sama salah seorang pelukis jalanan yang ada di sekitaran pintu gerbang masuk Kebun Raya Bogor. Namanya Ricky. Ia sudah menjadi pelukis jalanan sejak tahun 1998. Ia bercerita bahwa sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, ia sudah bisa menggambar mangkok bakso. Dibandingkan harus belajar alfabet dan angka, ia lebih suka membuat ilustrasi. Meskipun bukan berasal dari keluarga pelukis, tetapi hal itu tak membuatnya patah semangat. Ia terus mengasah bakatnya.
Oiya, meskipun hanya
sebagai pelukis jalanan tetapi mereka juga sering ikut pameran loh. Contohnya
Ricky, ia sudah mengikuti lebih dari 20 kali pameran. Meskipun dari 20 kali
tersebut, hanya tiga kali di mana lukisannya terjual. Tapi, keren loh. Gue
aja sampai kaget pas denger Beliau udah ikut pameran sebanyak itu.
Ia juga bercerita
alasan mengapa ia enggan kembali untuk mengikuti pameran. Alasannya dari segi
biaya pameran yang mungkin bisa dikatakan mahal dan juga kurang apresiasinya masyarakat
dan pemerintah. Dulu sewaktu ia mengikuti pameran, harga per-panel sudah
mencapai 400 ribu hanya untuk satu lukisan saja. Bila kita bandingkan dengan
sekarang, mungkin harga per-panel akan jauh lebih mahal. Selain itu, masyarakatpun
dinilai kurang apresiatif terhadap lukisan. Begitupun dengan pemerintah. Ia
sangat menyayangkan sikap pemerintah yang seolah tidak mendukung para pelukis
jalanan.
Melihat keadaan
tersebut, saat ini para pelukis jalanan di Kota Bogor semakin berkurang
jumlahnya. Kurangnya dukungan, itulah yang menjadi salah satu penyebabnya.
Ketika ada tamu penting dari Jakarta, mereka mau nggak mau harus mensterilkan
tempat tersebut. Berbagai cara sudah mereka lakukan, salah satunya adalah
dengan meminta izin untuk berjualan di mal. Kembali harus menelan kekecewaan,
itulah yang mereka rasakan. Tak ada respon dari pihak sana, begitu ujarnya.